Biografi Herbert Spencer
Herbert
Spencer lahir di Derby, Inggris, pada tanggal 27 April 1820. Ia tidak
memperoleh pendidikan seni dan humaniora, melainkan di sekolah teknik dan
utilitarian. Pada tahun 1837 ia mulai bekerja sebagai insinyur teknik sipil
untuk perusahaan kereta api, dan pekerjaan ini dijalaninya sampai tahun 1846.
Selama masa itu, Spencer terus mempelajari bidang studinya sendiri dan mulai
menerbitkan karya-karya tentang ilmu pengetahuan dan politik.
Pada
tahun 1848 Spencer ditunjuk sebagai editor majalah The Economist, dan gagasan-gagasan intelektualnya mulai mengental.
Pada tahun 1850, ia menyelesaikan karya utamanya, Social Statics. Selama menulis karya ini, Spencer mulai mengalami
insomnia, dan setelah beberapa tahun berselang masalah mental dan fisiknya
memuncak. Ia menderita serangkaian kerusakan saraf sepanjang hidupnya.
Pada
tahun 1853 Spencer menerima warisan yang memungkinkannya berhenti dari
pekerjaannya dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang ilmuwan
bermartabat. Ia tidak pernah memperoleh ijazah universitas ataupun menduduki
posisi akademis. Ketika hidup semakin terisolasi, serta sakit mental dan
fisiknya makin parah, produktivitas intelektualnya meningkat. Akhirnya, Spencer
tidak hanya mulai meraih ketenaran di Inggris, namun juga meraih reputasi pada
tingkat internasional. Sebagaimana dikatakan Richard Hofstadter: “Selama tiga
dekade setelah Perang Saudara, orang tidak mungkin aktif di arena intelektual
tanpa menguasai karya Spencer” (1959: 33). Di antara pendukungnya adalah
industrialis penting Andrew Carnegie, yang menulis surat berikut kepada Spencer
ketika ia menderita sakit yang merenggut nyawanya pada tahun 1903:
Untuk Guru Tercinta . . . engkau datang
padaku setiap hari di dalam pikiranku, dan pertanyaan abadi “mengapa” terus
mengganggu –Mengapa ia terbaring? Mengapa ia harus pergi? . . . Dunia bergerak
perlahan di atas bawah sadar pikiran agungnya. . . . Namun suatu hari nanti, ia
akan bangkit dengan ajaran dan menyatakan bahwa tempat Spencer ada di antara
pikiran terbesar itu.
(Carnegie,
dikutip dalam Peel, 1971: 2)
Namun
nasib Spencer tidaklah demikian.
Salah
satu ciri paling menarik Spencer, ciri yang hakikatnya menjadi sebab keruntuhan
intelektualnya adalah keengganannya untuk membaca karya orang lain. Dalam hal
ini, ia mirip dengan raksasa sosiologi lain, Auguste Comte, yang mempraktikan
“kemurnian intelektual”. Terkait dengan kebutuhan untuk membaca karya orang
lain, Spencer berkata: “Sepanjang hayat, aku adalah seorang pemikir, bukan
pembaca, sehingga dapat berbicara dengan Hobbes bahwa ‘jika saja aku membaca
sebanyak orang lain, maka aku tidak akan tahu sebanyak ini’” (Wiltshire, 1978:
67). Seorang kawan menanyakan pendapat Spencer tentang suatu buku, dan
“jawabannya adalah bahwa ketika membaca buku ia melihat bahwa asumsi
fundamentalnya salah besar, dan dengan demikian tidak ingin membacanya”
(Wiltshire, 1978: 67). Seorang pengarang menulis tentang “cara tidak
komprehensif Spencer dalam menyerap pengetahuan melalui kekuatan kulitnya . . .
tampaknya ia tidak pernah membaca buku” (Wiltshire, 1978: 67).
Jika
tidak membaca karya orang lain, lalu darimana gagasan dan pandangan Spencer
berasal? Menurut Spencer, keduanya muncul secara tidak sengaja dan secara
intuitif dari pikirannya. Ia mengatakan bahwa gagasan-gagasannya muncul
“sedikit demi sedikit, secara tak terduga, tanpa niat secara sadar atau upaya
yang dapat dipahami” (Wiltshire, 1978: 66). Intuisi semacam itu diyakini
Spencer jauh lebih efektif daripada studi dan pemikiran secara saksama: “Solusi
yang dicapai dengan cara tersebut lebih benar daripada yang dicapai dengan
upaya terukur (yang) menyebabkan pergeseran pemikiran” (Wiltshire, 1978: 66).
Spencer
menderita karena keengganannya membaca secara serius karya-karya orang lain.
Sebaliknya, jika ia membaca karya lain, seringkali hanya dilakukan untuk
mencari penegasan atas gagasannya sendiri yang tercipta secara independen. Ia
mengabaikan gagasan-gagasan yang tidak sejalan dengan gagasannya. Jadi, rekan
sejawatnya, Charles Darwin, bercerita tentang Spencer: “Jika saja ia mendidik
dirinya untuk meneliti lebih banyak, bahkan dengan . . . merugikan daya
pikirnya sendiri, ia akan menjadi orang yang luar biasa” (Wiltshire, 1978: 70).
Pengabaian Spencer terhadap aturan keilmuan membawanya ke serangkaian gagasan
yang sarat kebencian dan pernyataan yang tidak berdasar tentang evolusi dunia.
Oleh karena itu, sosiolog abad ke-20 mulai mencampakkan karya Spencer dan
menggantikannya dengan ilmuwan yang lebih saksama dan penelitian empiris.
Spencer meninggal pada tanggal 8 Desember
1903.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar